Jenis
kesenian wayang golek memiliki fenomena tersendiri di dalam dunia kesenian.
Keberadaannya masih terus dipertahankan agar tetap hidup sebagai salah satu
khazanah Budaya Sunda, meskipun pementasannya dewasa ini sudah sangat langka
dan terbatas pada tempat serta kesempatan tertentu saja.
Bila
mendengar nama Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya, maka kita akan langsung dapat
mengingat Kesenian Wayang Golek yang merupakan salah satu warisan paling
berharga untuk dilestarikan. Nilai-nilai luhung Seni dan Budaya Sunda.
Wayang
Golek versi Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya cenderung bergaya kontemporer.
Ki
Dalang Asep Sunandar Sunarya dilahirkan pada tanggal 3 September 1955 merupakan
putera ke-7 dari 13 bersaudara putera-puteri Ki Dalang legendaris Abah Sunarya
dengan Ibu Cucun Jubaedah.
Abah
Sunarya merupakan pemilik sekaligus pendiri Perkumpulan Seni Wayang Golek Giri
Harja. Selain Asep Sunandar Sunarya, anak Abah Sunarya lainnya yang berprofesi
sebagai dalang adalah Ade Kosasih Sunarya, Iden Subasrana Sunarya, Ugan Sunagar
Sunarya, Agus Muharam dan Imik Sunarya.
Asep
Sunandar Sunarya yang memiliki nama kecil Sukana dalam perilaku kesehariannya
sejak duduk di bangku SD sudah menampakan sosok pribadi yang kreatif dan
dinamis dalam bergaul dengan sesama teman-temannya.
Selesai
mengenyam pendidikan di tingkat Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1968, Asep
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pada masa-masa itu konsentrasi
belajarnya banyak terganggu oleh hobinya mendalami ilmu pedalangan sampai lulus
SMP tahun 1971.
Tekadnya
untuk segera bisa mendalang termotivasi oleh ayahnya Abah Sunarya dan kakaknya
Ade Kosasih Sunarya serta pamannya Lili Adi Sunarya. Selain itu juga Asep
Sunandar Sunarya menimba ilmu pedalangan dengan belajar pada dalang Cecep
Supriadi, dalang kondang dari Karawang.
Asep
Sunandar Sunarya dengan cara bersungguh-sungguh mengikuti Penataran Dalang yang
diselenggarakan RRI Bandung pada tahun 1972 dan tercatat sebagai Lulusan
Terbaik.
Padepokan
Giri Harja pada tahun 1987 diresmikan sebagai Pusat Belajar Seni Pedalangan
oleh MenteriPeneranganRI yang pada saat itu dijabat Harmoko. Keberadaan Padepokan
Giri Harja sangat berpengaruh terhadap prestasi, kreasi dan motivasi Ki Dalang
Asep Sunandar Sunarya sebagai Dalang Wayang Golek Kontemporer.
Pengalaman
serta prestasi yang telah diraihnya diantaranya sebagai Juara Dalang Pinilih I
Jawa Barat pada Binojakrama Padalangan di Bandung tahun 1978 dan tahun 1982.
Sedangkan pada tahun 1985 Asep terpilih menjadi Dalang Juara Umum tingkat Jawa
Barat dan memboyong Bokor Kancana.
Pengalaman
Asep Sunandar Sunarya melakukan muhibah ke luar negeri tercatat pada tahun 1986
sebagai Duta Kesenian ke Amerika Serikat. Tahun 1993 Institut International De
La Marionnete di Charleville Prancis meminta Asep Sunandar Sunarya sebagai
Dosen Luar Biasa selama 2 bulan serta diberi gelar Profesor oleh Masyarakat
Akademis Prancis. Terakhir pada tahun 1994 Asep melakukan pentas keliling
negara-negara di kawasan Eropa.
Kehadiran
Tokoh Dalang sekaliber Asep Sunandar Sunarya telah memberikan kontribusi bagi
seni pedalangan khususnya Wayang Golek sebagai warisan seni dan budaya milik
masyarakat Jawa Barat.
Konsep
serta kreativitas pertunjukan Wayang Golek Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya
telah memberikan warna dangaya tersendiri.
Gayapertunjukkan
Wayang Golek Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya merupakan nuansa baru yang muncul
di lingkungan Dinasti Sunarya. Hal yang paling menarik dan meruapakan ciri khas
Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya ini adalah kepiawaiannya dalam mengolah gerak
atau sabetan wayang dengan tampilan humor atau banyolan yang sentimentil, luwes
dan segar.
Mengenai
pegangannya pada Pakem Wayang dikaitkan dengan kreasinya yang disebut orang
kontemporer seperti pada pertunjukkan wayang ketika dipukul kepalanya dapat
mengeluarkan darah atau perkelahian antara Si Cepot dengan lawannya sampai
“Buta” atau ketika lawannya mengeluarkan “mie”, Kang Asep mengemukakan bahwa
hal itu tidaklah keluar dari pakem. Hal ini hanyalah merupakan suatu upaya
visualisasi dengan cara memvisualkan cerita dalang-dalang terdahulu.
Dari Asep Sukana Menjadi Asep Sunandar
Sunarya
Mimpi adalah sebuah misteri yang multi tafsir kebanyakan
orang menganggapnya sebagai bunga tidur namun tidak sedikit juga yang
beranggapan bahwa mimpi adalah medium Tuhan "Menyampaikan"
pengetahuan-Nya kepada manusia, dan yang namanya tafsir itu pastinya banyak
versi. Kita tidak pernah paham secara detil apa hubungannya antara mimpi dengan
kenyataan.
Namun inilah kenyataan yang dialami seorang Ibu ditahun
1955 di Kampung Giriharja Bandung. Ia bernama Tjutjun Jubaedah (biasa dipanggil
Abu Tjutjun), isteri seorang dalang terkenal pada masanya yakni Abeng Sunarya
(biasa dipanggil Abah Sunarya).
Suami Istri ini dikarunia 13 orang anak:
1. Suherman
Sunarya
2. Ade
Kosasih Sunarya
3. Miktarsih
Sunarya
4. Otah
Saodah Sunarya
5. Ilis
Sunarya
6. Nanih
Sunarya
7. Asep
Sunandar Sunarya (Sukana)
8. Imas
Sunarya
9. Iden
Subrasana Sunarya
10. Nunuk
Sunarya
11. Permanik
Sunarya
12. Ugan
Sunagar Sunarya
13. Agus
Sunarya
Inilah salah satu episode tautan antara mimpi dengan
kelahiran. Ketika usia kandungan Abu Tjutjun menginjak bulan ketujuh Ia
bermimpi bahwa kalau anak yang ke-7 dalam kandungannya lahir maka tidak boleh
diberi nama. 3 September 1955 Abu Tjutjun melahirkan putra ke-7 seorang anak
laki-laki. teringat akan mimpinya maka jabang bayi tersebut tidak diberi nama.
Entah apa hubungannya antara mimpi tersebut dengan niat
Abah Sunarya sebab menginjak usia 15 bulan setelah lahir, sang jabang bayi
"diserahkan" kepada adiknya Abah yang bernama Ibu Eja (akrab
dipanggil Ma Jaja) yang kebetulan belum dikaruniai anak. Sejak saat itu hak asuh
sang bayi menjadi tanggung jawab Ma Jaja (alias sang Bibi bagi si Bayi)
Karena sang Bayi tidak bernama tentu ada kekhawatiran
pada diri Ma Jaja jika tetangganya menanyakan perihal nama Bayi tersebut. Untuk
menyiasatinya maka Ma Jaja berfikir keras hingga muncul ide Sukana yakni
semacam akronim dari Bahasa Sunda yang berarti sa suka na (sesukanya). kemudian
Sukana menjadi semacam "nama" bagi Bayi tersebut. Ide ini datang
sebagai "jalan tengah" atau solusi jitu sebab dengan cara seperti itu
Ma Jaja tidak melanggar apa yang diamanatkan oleh sang Kaka.
Salah satu sebutan untuk laki-laki dikalangan masyarakat
Sunda adalah Asep (disamping Encep atau Ujang). Jadilah kemudian sang bayi
terbiasa disebut Asep Sukana. Hampir seperti kebanyakan anak-anak lainnya pada
jaman itu, Asep kecil senang sekali dengan dongeng atau kawih yang menyertainya
menjelang tidur. Selain itu, Asep kecil sudah memperlihatkan kesukaannya
terhadap aneka binatang peliharaan, seperti kucing, anjing, burung dan ayam.
saking sayang nya pada binatang Asep kecil menamai binatang-binatang itu salah
satunya anjingnya yang hitam polos diberinama Lutung.
Pada diri Asep mengalir darah seni dari Ayahnya. Diawali
sejak usia 7 tahun ( kelas 1 SD) minat Asep terhadap wayang golek sudah mulai
tumbuh. Selain karna faktor turunan juga memang pada zaman itu pagelaran seni
Wayang Golek masih digandrungi oleh masyarakat. Juga, pada saat itu belum ada
"saingan" dari jenis seni lainnya sebagaimana terjadi pada zaman
sekarang. Bakat Sukana kecil ia perlihatkan dengan kegemarannya membuat
wawayangan dari ranting-ranting pohon yang jatuh, tanah liat, dan daun
singkong.
Asep Sukana yang hidup dibelaian Ma Jaja, tentu saja
menganggap bahwa Ma Jaja adalah Ibu kandungannya sendiri. Paling kurang selama
16 tahun Asep Sukana tidak pernah tahu siapa sesungguhnya orangtua kandungnya.
Namun berkat kebijakan dari Ma Jaja maka akhirnya Asep mengetahui siapa ayah
dan ibu kandungnya. Maka pada suatu kesempatan, Ma Jaja, Abeng Sunarya, dan
Tjutjun Jubaedah bertemu, tersibaklah kemudian asal-usul atau silsilah keluarga
yang sebernarnya.
Suatu ketika saat Asep Sukana manggung di Luragung, ia
mendalang siang hari (ngabeurangan) sedangkan pada malam harinya yang
menjadi dalang adalah Abah Sunarya, maka saat itulah Abah Sunarya berujar:"Ngewa
ngaran Sukana, ganti ku Sunandar!" Sejak saat itulah Asep Sukana
berubah menjadi Asep Sunandar, sedangkan nama Sunarya merupakan nama Ayahnya
yang kemudian digunakannya. Hal ini lazim terjadi di Masyarakat Sunda
khususnya, dimana nama Ayah kerap digunakan dibelakang nama anaknya.
"Apalah artinya sebuah nama tanpa Karya" Asep
Sunandar.
Tentu banyak alasan kenapa ia memperoleh aneka
penghargaan tersebut. Yang jelas tidak mungkin ada penghargaan tanpa prestasi
dan tidak mungkin ada prestasi tanpa karya. Dari berkarya kemudian berprestasi
tentu merupakan tangga tersendiri, dan tangga ini hanya mungkin dilalui atau
dicapai apabila padanya terdapat inovasi dari ragam kreativitas yang
dilakoninya. Artinya, Asep tidak hanya sekedar berkarya namun lebih jauh dari
itu ia berkarya disertai inovasi dan kreativitas. Artinya pula, karya Asep
tidak stagnan melainkan dinamis, terus mengikuti perkembangan dan tuntutan
zaman, ngindung kawaktu mibapa kajaman.
Selain penghargaan Individu Peduli Tradisi, Asep memiliki
penghargaan atas semua kreativitasnya itu, diantaranya 1978 Asep
Sunandar Sunarya berhasil menyandang juara Dalang Pinilih I tingkat
Jawa Barat pada Binojakrama padalangan di Bandung. selang empat tahun kemudian
yakni ditahun 1982, terpilih kembali menjadi juara pinilih I lagi
di Bandung. sejak 1982-1985 Asep Sunandar Sunarya rekaman kaset oleh SP Record,
dan Wisnu Record. Dan pada tahun 1985, ia dinobatkan sebagai Dalang
Juara UMUM tingkat Jawa Barat pada Binojakrama Padalangan di Subang, dan ia
berhak memboyong Bokor Kencana sebagai lambang supremasi padalangan Sunda Jawa
Barat.
Pada tahun 1986, Asep Sunandar Sunarya mendapat mandat dari pemerintah
sebagai duta kesenian, untuk terbang ke Amerika Serikat. Pada tahun yang sama,
1986, Dian Record mulai merekam karya-karya Asep Sunandar dalam bentuk kaset
pita.
Di Tahun 1993, Asep Sunandar Sunarya diminta oleh Institut
International De La Marionnette di Charleville, Perancis, sebagai
dosen luar biasa selama dua bulan, dan diberi gelar profesor oleh masyarakat
akademis Perancis.
Tahun 1994, Asep Sunandar Sunarya mulai pentas di
luar negeri, antara lain di: Inggris, Belanda, Swiss, Perancis, dan Belgia,
setelah itu, yakni 1995, ia ,mendapat penghargaan bintang Satya Lencana
Kebudayaan. Hingga sekarang, tidak kurang dari 100 album rekaman (termasuk
bobodoran) yang sudah dihasilkan Asep Sunandar Sunarya. bahkan salah satu
station tv swasta juga pernah membuat program khusus Asep berjudul Asep Show.
Setidaknya itulah beberapa penghargaan formal yang pernah
diraih Asep. Tidak terhitung aneka penghargaan nonformal, baik yang datang dari
perseorangan maupun kelembagaan.
Dari semua itu, pada kesehariaanya, Asep tetaplah Asep
yang hidup bersahaja, mengenakan sarung, dan bersila, serta
"bercengkrama" dengan domba-domba peliharaanya.
Benar tidaknya Asep Sunandar Sunarya bisa disebut sang
Maestro(?), tentu bukan yang bersangkutan yang menjawabnya. Hanya masyarakat,
baik itu penggemar wayang golek dan pemerhati wayang setidaknya yang dapat
menilainya. Tentu saja penilaian ini merujuk kepada sejumlah karya yang sudah
dihasilkannya. Yang jelas salah satu stasiun televisi sempat merekam jejak
perjalanan seorang Asep dalam format acara "Maestro" beberapa tahun
yang lalu.
Fakta menunjukan bahwa jam terbang manggungnya cukup
mencengangkan bahkan sekitar 1985-1990-an, ia seringkali harus manggung 40 kali
perbulannya.
Kehidupan Pribadi
Pada umur 17 tahun Asep Sunandar Sunarya menikahi Euis
Garnewi (16 tahun) seorang Pesinden juaga anak seorang Camat. Dari
pernikahannya itu Asep dikaruniai 1 orang anak perempuan dan 2 orang anak
laki-laki yaitu: Mae Saroh, Dadan Sunandar, dan Dani. Namun nasib tak
bisa ditolak, perkawinan mereka hanya bertahan hingga 7 tahun, meraka pun
sepakat untuk bercerai secara baik-baik. Tuhanpun mempertemukan Asep dengan
Elas Sulastri(18tahun) seorang Gadis asal Lembang Jawa Barat, tahun 1978,
saat itu usia Asep 23 tahun.
Dari pernikahannya Asep dikarunia 1 orang anak lakii-laki
dan 2 orang anak perempuan yaitu: Dinar Mustika, Elin, dan Gina Tridasanti.
Namun, lagi-lagi jalan hidup tidak ada yang menduga. Pernikahannya dengan Elas
kandas ditengah jalan. Usia pernikahannya dengan Elas Sulastri hanya
berlangsung 6 tahun. Pada usia 29 tahun Asep menikah lagi dengan Ati (20tahun)
seorang Gadis asal Rancaekek,Bandung Jawa Barat. Dari pernikahannya
dengan Ati lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Cipta Dewa atau
sering dipanggil Ito. Pada tahun yang sama, Asep menikah lagi dengan gadis asal
Cangkuang bernama Sumirat (sebagai istri kedua), dari pernikahannya dengan
Sumirat lahirlah seorang anak laki-laki yang diberinama Gunawan Wibiksana.
Inilah jalan kehidupan Asep. Sama sekali yang
bersangkutan tidak pernah tahu bahwa dirinya harus berpoligami. Tahun 1985 saat
Asep berusia 31, Ia terpikat gadis cantik dari Cianjur Kadupandak yang bernama
Nenah Hayati (15 tahun). Pertemuannya bermula saat Asep sedang pentas di daerah
tersebut. Pendek cerita akhirnya mereka sepakat untuk menjalin tali kasih, yang
seterusnya menikah pada tanggal 4 Maret 1985. Kedua istrinya yang dimadu tersebut
dangan rela harus melangsungkan perceraian sebagai jalan terbaiknya setelah
mengetahui suaminya sudah menikah lagi dengan gadis cantik yang baru lulus dari
SMP.
Dari pernikahan tersebut lahirlah 6 orang anak laki-laki:
Batara Sena, Gysta Gumilar Agustina, Yogaswara Sunandar, Sunan Purwa Aji, Aria
Sadewa, dan Maulana Yusuf. Hingga saat ini hanya satu istri yang hidup serumah
dengan Asep. Hidup dan jalan kehidupan seseorang memang menjadi rahasia Tuhan. "Euweuh..
Euweuh nu nyaho manusa mah soal jodo, pati, bagja katut cilaka. kitu deui jeung
Uing, ah teu nyangka wé sagala rupana ogé, geus kieu wé kuduna, da mémang kieu
gening kanyataanana. teu Dalang, teu Présidén, teu Hancip, teu Ulama teu saha,
ari ceuk nu Maha Sutradara kudu A nya pasti kajadian A. Aaaaah tarima wé ku
kasadaran da sagala gé teu hayang komo embung". Ujar Asep.
Dalang kondang ini memiliki riwayat penyakit jantung dan
rencananya akan dibawa ke sebuah rumah sakit di Singapura untuk berobat. Namun
takdir berkata lain, pada tanggal 31 Maret 2014, Asep Sunarya meninggal dunia dalam
perjalanan menuju rumah sakit Al-Ihsan Bandung.
Nama Kondang : Asep Sunandar Sunarya
Nama Lahir : Asep Sukana
Lahir
: Bandung, 3 September 1955
Meninggal :
Bandung, 31 Maret 2014
Tahun Aktif : 1970-2014
Sumber
:
* Cahya
Hedy, S.Sen, Asep Sunandar Sunarya Tokoh dan Kreator
Pedalangan Sunda, STSIBandung, 1999.